Setelah lulus dan menyandang sarjana, banyak yang beranggapan bahwa
merantau adalah sebaik-baiknya pilihan. Harapan mendapatkan karir yang
mapan di kota-kota besar membuatmu mengabaikan kemungkinan-kemungkinan
lainnya.
Padahal, seorang sarjana tentu bisa memilih keputusan yang berbeda dari orang-orang pada umumnya – seperti pulang ke kampung halaman misalnya. Meskipun mendengar pernyataan ini mungkin akan membuatmu mengerutkan dahi, tapi inilah alasan-alasan yang akan meyakinkanmu. Bahwa sarjana yang pulang ke kampung halaman dan membuat perubahan adalah yang terbaik.
Alasannya, tentu saja karena kampung halaman atau desa tempat asalmu tidak menawarkan apa-apa. Minimnya lapangan kerja dan Upah Minimum yang rendah biasanya jadi alasan utama. Toh, orang-orang yang dari tempat asalmu dan lebih dahulu merantau pun sudah membuktikan. Bahwa merantau ibarat “pintu” yang mengantarkan mereka pada kesuksesan.
Di tempat perantauan, kamu pastilah akan berusaha mati-matian untuk menyesuaikan diri. Mulai dari mengenali lingkungan tempat tinggal, berusaha menyesuaikan diri dengan rekan-rekan kerja, mengakrabi makanan yang mungkin rasanya berbeda hingga belajarcara-cara berhemat di tanah perantauan.
Memang tak bisa dipungkiri, perantauan membuatmu keluar dari zona nyaman. Menjauh dari bantuan keluarga dan segala yang sudah kamu punya di tempat asal.
Di desa atau kampung tempat asalmu, mungkin ada pula sekelompok warga yang menganggur. Tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya karena di PHK dan tak punya kemampuan untuk berwirausaha. Ada pula kelompok petani yang mungkin sering gagal panen karena minimnya pengetahuan.
Nah, dalam kondisi-kondisi itulah sebenarnya para sarjana seharusnya mengambil peran. Sarjana pendidikan, pertanian, ekonomi, atau apapun jurusan yang kamu ambil pastilah bisa memberi kontribusi. Ilmu yang didapat di bangku kuliah sepatutnya bisa benar-benar berguna dalam kehidupan yang nyata.
Terlebih, alangkah baiknya jika arus urbanisasi semakin dikurangi. Jangan biarkan anak-anak muda, khususnya yang tak memiliki ketrampilan dibiarkan merantau dan terlunta-lunta di kota. Orang-orang harus percaya bahwa kampung halaman pastilah punya potensi menyejahterakan warganya selama kita tahucara mengelolanya.
Tapi bukankah anggapan semacam itu justru sebenarnya keliru? Tidak ada jaminan bahwa sarjana yang merantau itu sukses dan yang memilih kembali ke kampung halaman itu berarti sudah gagal.
Justru kamu yang berani pulang adalah sarjana-sarjana terbaik. Kamu yang berani melawan anggapan umum bahwa kesuksesan hanya bisa didapat di perantauan. Kamu yang sebenarnya sudah berbesar hati lantaran tak mau memikirkan diri sendiri, tapi juga memikirkan tanah kelahiran yang kamucintai.
Ada banyakcara supaya kamu bisa ikut serta memajukan desa atau kampung halamanmu tanpa harus menetap di sana. Tapi jika “pulang” adalah yang menjadi panggilan hatimu, tentu kamu pun tak perlu ragu. Yakinlah bahwa kesuksesan itu akan datang selama kamu punya niat dan tekad untuk berbuat kebaikan.
Jangan bimbang menentukan masa depan. Setelah lulus dan menyandang gelar sarjana, mungkin keputusan terbaik adalah pulang untuk membuat perubahan dan membangun kampung halaman.
Padahal, seorang sarjana tentu bisa memilih keputusan yang berbeda dari orang-orang pada umumnya – seperti pulang ke kampung halaman misalnya. Meskipun mendengar pernyataan ini mungkin akan membuatmu mengerutkan dahi, tapi inilah alasan-alasan yang akan meyakinkanmu. Bahwa sarjana yang pulang ke kampung halaman dan membuat perubahan adalah yang terbaik.
Tanah perantauan ibarat satu-satunya tujuan. Tak bisa dipungkiri, sarjana yang memilih pergi memang rata-rata berhasil meraih kesuksesan.
“Di kampung ‘kan gak ada apa-apa. Kalau mau sukses ya merantau saja.”Kalimat itu mungkin sudah seringkali kamu dengar. Entah dari orang tua, saudara yang lebih tua, atau teman seangkatan misalnya – mereka menyarankan agar kamu lebih baik merantau saja setelah lulus dan jadi sarjana.
Alasannya, tentu saja karena kampung halaman atau desa tempat asalmu tidak menawarkan apa-apa. Minimnya lapangan kerja dan Upah Minimum yang rendah biasanya jadi alasan utama. Toh, orang-orang yang dari tempat asalmu dan lebih dahulu merantau pun sudah membuktikan. Bahwa merantau ibarat “pintu” yang mengantarkan mereka pada kesuksesan.
Di perantauan kamu akan menemukan hal-hal baru. Keluar dari zona nyaman berarti menempa dirimu.
Selain bayangan kesuksesan yang ditawarkan, perantauan boleh dibilang sebagai tempat penempaan. Ya, pergi merantau berarti keluar dari zona nyaman. Kamu akan menjalani kehidupan baru dengan lingkungan dan orang-orang yang baru pula.Di tempat perantauan, kamu pastilah akan berusaha mati-matian untuk menyesuaikan diri. Mulai dari mengenali lingkungan tempat tinggal, berusaha menyesuaikan diri dengan rekan-rekan kerja, mengakrabi makanan yang mungkin rasanya berbeda hingga belajarcara-cara berhemat di tanah perantauan.
Memang tak bisa dipungkiri, perantauan membuatmu keluar dari zona nyaman. Menjauh dari bantuan keluarga dan segala yang sudah kamu punya di tempat asal.
Tapi, tinggal di perantauan juga bukannya tanpa hambatan. Toh, harapan-harapan yang kamu punya juga belum tentu jadi kenyataan.
Kamu tentu berharap bisa mendapat pekerjaan yang mapan di perantauan. Sayangnya, hal itu belum tentu jadi kenyataan karena banyaknya pesaing yang juga menginginkan hal yang sama denganmu. Yang pasti, ketatnya persaingan untuk mendapat pekerjaan adalah yang tak mungkin kamu hindari. Selain biaya hidup yang tinggi, kehilangan waktu bersama orang-orang yang kamucintai misalnya keluarga juga jadi resikonya.Dan jauh dari hingar-bingar kota perantauan, ada kampung halaman yang sebenarnya berharap diperhatikan.
Kamu mungkin tak seberapa perhatian dengan kondisi di tempat asalmu. Bahwa ada sekolah-sekolah yang sebenarnya kekurangan tenaga pengajar, dan ada anak-anak yang tak mendapat fasilitas belajar mengajar yang layak.Di desa atau kampung tempat asalmu, mungkin ada pula sekelompok warga yang menganggur. Tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya karena di PHK dan tak punya kemampuan untuk berwirausaha. Ada pula kelompok petani yang mungkin sering gagal panen karena minimnya pengetahuan.
Nah, dalam kondisi-kondisi itulah sebenarnya para sarjana seharusnya mengambil peran. Sarjana pendidikan, pertanian, ekonomi, atau apapun jurusan yang kamu ambil pastilah bisa memberi kontribusi. Ilmu yang didapat di bangku kuliah sepatutnya bisa benar-benar berguna dalam kehidupan yang nyata.
Kampung halaman selayaknya tak begitu saja ditinggalkan. Justru para sarjana sepatutnya pulang dan membuat perubahan.
“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” – Nelson MandelaYup!Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh, yang dapat kamu gunakan untuk mengubah dunia termasuk mengubah kampung halamanmu menjadi lebih maju. Sebagai sarjana tentu kamu memiliki bekal pendidikan itu, yang rasanya sayang sekali jika tak bisa membawa manfaat bagi orang-orang di sekitarmu.
Terlebih, alangkah baiknya jika arus urbanisasi semakin dikurangi. Jangan biarkan anak-anak muda, khususnya yang tak memiliki ketrampilan dibiarkan merantau dan terlunta-lunta di kota. Orang-orang harus percaya bahwa kampung halaman pastilah punya potensi menyejahterakan warganya selama kita tahucara mengelolanya.
Anggapan bahwa “pulang ke kampung halaman adalah sesuatu yang tabu” itu keliru.Justru kamu yang memilih pulang adalah seorang pemberani – yang tak hanya memikirkan diri sendiri.
Tak bisa dipungkiri, sarjana yang memilih pulang ke kampung halaman seringkali justru mendapat penilaian yang negatif. Dianggap tidak mampu berjuang, bahkan lebih parah lagi yaitu dianggap sudah gagal di tanah perantauan. Akibatnya, tak sedikit sarjana yang enggan pulang lantaran anggapan-anggapan miring tersebut.Tapi bukankah anggapan semacam itu justru sebenarnya keliru? Tidak ada jaminan bahwa sarjana yang merantau itu sukses dan yang memilih kembali ke kampung halaman itu berarti sudah gagal.
Justru kamu yang berani pulang adalah sarjana-sarjana terbaik. Kamu yang berani melawan anggapan umum bahwa kesuksesan hanya bisa didapat di perantauan. Kamu yang sebenarnya sudah berbesar hati lantaran tak mau memikirkan diri sendiri, tapi juga memikirkan tanah kelahiran yang kamucintai.
Tapi sekali lagi, pilihan tetap ada di tanganmu. Mantap merantau atau kembali kampung halaman itu mutlak pilihanmu. Yang pasti, berusahalah untuk selalu membawa kebaikan dan manfaat dimana pun tempat yang kamu tuju.
Merantau atau pulang ke kampung halaman, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Sebagai seorang individu, jelas kamu berhak menentukan pilihanmu sendiri. Toh, memilih merantau juga bukan berarti kamu tidak bisa memberi kontribusi pada tanah kelahiranmu sendiri.Ada banyakcara supaya kamu bisa ikut serta memajukan desa atau kampung halamanmu tanpa harus menetap di sana. Tapi jika “pulang” adalah yang menjadi panggilan hatimu, tentu kamu pun tak perlu ragu. Yakinlah bahwa kesuksesan itu akan datang selama kamu punya niat dan tekad untuk berbuat kebaikan.
Jangan bimbang menentukan masa depan. Setelah lulus dan menyandang gelar sarjana, mungkin keputusan terbaik adalah pulang untuk membuat perubahan dan membangun kampung halaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar